Kata Pengantar
Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa,
bahwa makalah untuk mata kuliah filsafat ilmu ini akhirnya dapat terselesaikan.
Meski banyak kelemahan dan kekurangan yang terjadi dalam makalah ini, tetapi
sangat diharapkan bahwa isi dari makalah ini dapat memperluas wawasan yang ada
di dalam bidang filsafat.
Makalah dengan tema filsafat secara personal,
nasional dan universal yang kemudian diejawantahkan oleh penulis menjadi sebuah
judul yang mengangkat keberadaan filsafat crowdsourcing yang muncul di era kebangkitan
net generation dan sebagai akibat dari perkembangan teknologi di bidang sistem
informasi saat ini, sengaja dilakukan oleh penulis mengingat bidang keilmuan
yang digeluti penulis saat ini berada di lingkup bidang sistem informasi
khususnya untuk bidang aplikasi web.
Namun demikian bukan berarti bahwa isi dari
makalah ini hanya akan dapat dipahami oleh orang-orang yang berada di lingkup
bidang sistem informasi, sebab dengan pembahasan yang bersifat universal, maka
diharapkan para pembaca, khususnya dosen pembina dan kolega
kelas A mata kuliah filsafat ilmu dapat memahami dengan cepat dan akurat.
Sumbangsih berupa saran dan kritik sangat
diharapkan demi kesempurnaan dan perbaikan di masa mendatang, khususnya dalam
pemahaman mengenai filsafat ilmu. Semoga makalah ini dapat memberikan khazanah
baru dalam bidang filsafat ilmu bagi para pembacanya. Selamat berkontemplasi
dan selamat berkarya.
I. Pendahuluan
Tak bisa dipungkiri bahwa fenomena perkembangan
teknologi informasi saat ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan
secara global. Secara otomatis, hal tersebut juga dapat dipastikan berpengaruh
kepada bidang ilmu filsafat yang dipastikan dengan adanya perkembangan teknologi
akan dapat menembus batasan ruang dan waktu.
Generasi yang ada saat ini, dijuluki sebagai net generation yang didefinisikan
sebagai generasi yang lahir setelah tahun 1980-an dan sesungguhnya lebih cerdas
namun menginginkan hasil yang lebih cepat atau secara instan (Beyers, 2009).
Tentu saja hal tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan filosofi yang
ada di masa kini, saat sebuah filsafat tidak hanya lagi bersifat personal,
tetapi juga tidak bisa lagi dibatasi dalam satu area negara atau nasional,
tetapi lebih bersifat global dan universal.
Filosofi yang dimiliki secara personal bukanlah
sesuatu hal yang “tidak penting” secara pragmatis, sebab kepemilikan seseorang
terhadap filosofi personal telah terbukti secara empiris dapat meningkatkan produktifitas
orang tersebut di dalam raihan hidup serta pekerjaan yang dijalani (Stilman et
al, 2010:1). Ini membuktikan bahwa seseorang memang seharusnya memiliki
filosofi personal di tiap dirinya masing-masing.
Dengan kaitan bahwa filosofi personal adalah hal
yang penting dimiliki oleh tiap orang di dalam raihan hidup serta perjalanan
hidup yang harus dijalani, sedangkan di sisi lain filosofi yang bersifat
personal telah bermetamorfosa menjadi sebuah filosofi yang dalam sekejap mata
berubah menjadi filosofi global. Maka tak pelak lagi, filosofi yang saat ini
berkembang di lingkungan net generation adalah sebuah filosofi yang terbentuk
dari model crowdsourcing, yakni
sebuah model yang pengetahuan didalamnya terbentuk dari berbagai jenis dan tipe
orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja berkumpul di sebuah lingkungan
sosial berbasis online (Borst, 2010).
Model crowdsourcing yang secara instan dapat
menghasilkan sebuah panduan filosofi baru juga sekaligus secara langsung dapat
mengubah filosofi personal seseorang jika di dalam sebuah lingkup sosial
terdapat seseorang yang menjadi panutan dan dianggap superior di dalam
pengungkapan filsafah kehidupan. Superioritas panutan tersebut pada akhirnya
dapat melahirkan sebuah ideologi baru yang tidak lagi terbatas dengan kondisi
ruang dan waktu, tetapi seketika akan berlaku secara global (Freeden, 2003).
Hal tersebut berarti bahwa model crowdsourcing di
dalam lingkungan sosial berbasis online telah menafikan anggota komunitasnya
dari perbedaan ras, agama, etnis, kewarganegaraan ataupun perbedaan lainnya
yang sering menjadi batasan dalam anutan filosofi seseorang. Sebagai contoh,
filosofi mengenai penafian Tuhan yang berkembang menjadi ideologi komunis kini
tidak hanya berkembang di sebuah negara komunis seperti Kuba atau Korea Utara,
tetapi dengan munculnya beragam situs online yang menawarkan filosofi keduniaan
sebagai penghambaan utama maka secara tidak sadar para partisipan di dalam
situs tersebut bisa jadi akan memiliki kesepahaman yang sama mengenai komunisme
yang juga sekaligus menjadikan filsafah hidup secara personal yang mereka anut
juga menjadi berubah arah.
Dari uraian tersebut, maka makalah ini berusaha
membahas mengenai fenomena perubahan pembentukan filosofi personal yang terjadi
pada dekade kedua di abad 21, yakni pada saat net generation telah dikuasai
oleh teknologi berbasis online yang menyebabkan terbentuknya sebuah lingkungan
sosial berbasis global, dan akibatnya menjadikan filosofi yang sebelumnya
bersifat personal dan akhirnya berkembang pesat menjadi bersifat universal
dengan bantuan model crowdsourcing didalamnya.
II. Kajian Pustaka
Filsafat yang bisa didefinisikan sebagai usaha
untuk mencari kebijaksanaan dalam hidup (Syam, 2006:10), bisa menjadi sebuah
perenungan yang didalamnya akan membawa manusia ke dalam sebuah hakikat
pemaknaan hidup. Upaya manusia dalam berfilsafat sesungguhnya terdorong oleh
perasaan bahwa seseorang seharusnya mengetahui dengan pasti bahwa dirinya tidak
mengetahui tentang apapun (the one thing
I know is that I know nothing), sehingga didalamnya terbersit keinginan
untuk mencari tahu mengenai makna hidup (Pessin, 2009:26).
Filsafat yang dianut seseorang dipastikan akan
berbeda satu sama lain, meski ideologi yang dianut kerap sama. Karena secara
personal, filsafat hidup bisa bergantung kepada pengalaman yang telah dilalui
serta cara menghadapi krisis yang dilalui dalam hidup. Keberadaan filsafat
secara personal atau lazim disebut sebagai eksistensialisme tersebut juga
dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang dihadapi oleh tiap orang di dalam
perjalanan hidupnya (Flynn, 2006:24-25).
Dalam perjalanan hidup manusia, secara personal
manusia akan terpengaruh dengan filsafat yang dia miliki baik dari sisi
pekerjaan ataupun pengetahuan yang diperoleh (Stilman et al, 2010). Selain itu,
filsafat secara personal juga akan mempengaruhi perilaku manusia sebagai mahluk
bermoral, seperti halnya pendapat David Hume dalam teori science of man yang
mengasumsikan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman sehingga moral manusia
dapat dipengaruhi oleh penerapan ilmu (Abqary, 2009:2).
Perjalanan hidup seorang manusia, meski telah
disebutkan akan mempengaruhi filsafat hidup yang ia miliki dan ia anut, tidak
akan sepenuhnya menjadikan seorang manusia menjadi tertutup terhadap filsafat
yang berkembang di dunia luar selain dunia yang ia jalani saat ini. Hal ini
dikarenakan bahwa manusia modern yang hidup pada saat ini dinyatakan memiliki
ciri keterbukaan “aku” sebagai sebuah mahluk sosial yang memiliki tugas,
kebebasan serta tanggung jawab terhadap dunia, sesama manusia serta Tuhan (Leenhouwers,
1988 :85-87).
Hal tersebut berarti menyatakan bahwa filsafat
personal seseorang dapat secara pelan-pelan ataupun drastis berubah sesuai
dengan lingkungan yang ia tempati. Perubahan tersebut bisa juga tidak terjadi, sebab
kodrat manusia adalah sebagai mahluk yang memiliki kemampuan untuk berkehendak
dan memilih di dalam perjalanan hidupnya (Leahy, 1989:145). Tetapi di satu
sisi, bahwa tindakan yang dilakukan seseorang dipastikan merupakan manifestasi
dari filsafat hidup yang ia miliki, mengingat bahwa filosofi lebih berfokus
kepada cara yang tepat untuk bertindak dibandingkan sebuah kumpulan abstrak
dari kebenaran teori (Flynn, 2006:1).
Jika ditarik lebih lanjut, dari kumpulan filsafat
secara personal dan terbuka bagi publik yang kemudian dimiliki oleh para
penguasa sebuah negara atau pemerintahan, maka secara otomatis filsafat
tersebut akan bersifat nasional dan menjadi sebuah ideologi yang dianut dalam
sebuah negara (Freeden, 2003). Filsafat negara yang selanjutnya menjadi sebuah
dasar negara menjadi sebuah sistem yang filsafat dan ideologi yang melembaga
yakni dalam wujud sistem kenegaraan sehingga mampu memandu tatanan kebangsaan
suatu negara (Syam, 2006:32).
Tiap negara dipastikan memiliki filsafat negara
yang berbeda, seperti halnya yang terjadi pada sebuah filsafat personal. Hal
tersebut disebabkan perjalanan hidup dan kelahiran sebuah negara yang
dipastikan berbeda satu sama lain dan mempengaruhi filsafat nasional yang
dimiliki tiap negara (Syam, 2006). Namun demikian dengan adanya perkembangan
teknologi di bidang sistem informasi yang menembus batas ruang dan waktu saat
ini telah mempengaruhi penerapan filsafat nasional dalam sebuah negara.
Penembusan batas ruang dan waktu oleh berbagai
jenis jejaring sosial yang semakin meledak penggunaannya saat ini, menjadikan fenomena
internet yang mengutamakan aktifitas dan interaksi sosial dibanding personal
atau lazim disebut sebagai Web 2.0
menjadi sebuah manifestasi filsafat net generation saat ini (Jones, 2008).Fenomena
sosiologis Web 2.0 yang membentuk sebuah komunitas yang bisa secara sengaja
atau tidak sengaja menetapkan sebuah tujuan yang sama dan umumnya bersifat
temporer, telah membentuk sebuah model baru dalam pencarian sumber belajar yang
dinamakan crowdsourcing (Borst, 2010).
Crowd yang dapat diartikan sebagai kumpulan
manusia jika dipandang dari sisi sosiologis dibagi menjadi empat jenis yakni
(Blumer ,1972:12-13): casual crowd (jika
kumpulan tersebut terbentuk dan kemudian bubar secara normal, misal: kumpulan
orang di sebuah taman), conventionalized
crowd ( jika kumpulan tersebut terbentuk akibat adanya tujuan yang sama dan
bertindak dalam sebuah keseragaman, misal: penonton yang secara otomatis
sama-sama memberi dukungan dalam sebuah pertandingan olahraga), acting crowd (kumpulan manusia yang
secara tidak sengaja terbentuk akibat ketertarikan terhadap sesuatu, misal:
sekumpulan orang yang melihat sebuah kecelakaan di jalan) dan yang terakhir
adalah expressive crowd (kumpulan
manusia yang tidak memiliki tujuan sama namun memiliki emosi yang sama dalam
suatu waktu, misal: saat seorang pencopet tertangkap, maka akan dipukuli secara
beramai-ramai, meski beberapa orang hanya memukul karena meluapkan emosi
terhadap hal lain di dalam kehidupannya).
Dalam konteks ini, komunitas yang terbentuk secara
online dan menerapkan model crowdsourcing didalamnya bisa jadi tergolong ke
dalam expressive crowd pada saat awal, namun di perkembangan selanjutnya dapat
secara cepat berubah menjadiconventionalized crowd atau acting crowd. Perilaku yang
terjadi dalam komunitas dan ditindaklanjuti secara kolektif secara alamiah akan
merasuk ke dalam individu yang ada didalamnya dan menjadi sebuah arah kehidupan
yang baru atau new order of life
(Blumer, 1972:16).
Crowdsourcing yang menempatkan berbagai sumber
ilmu di dalam sebuah wahana baru secara online dan seringkali diwarnai
ketidaksahihan sumber tersebut malah menjadikan para anggota komunitas
didalamnya menjadikan hasil kumpulan sumber ilmu tersebut menjadi sesuatu yang
“sangat benar” (Borst, 2010). Hal ini disebabkan kodrat manusia yang disebut
sebagai mahluk terbuka secara
horizontal yang menjadikan manusia menganggap dirinya sebagai bagian dari
sebuah kumpulan spesies yang turut mengambil bagian dalam kodrat manusia yang
sama dengan manusia yang lain (Leenhouwers, 1988:268). Dan secara naluriah,
seseorang akan selalu mencari alternatif di dalam mengembangkan keilmuan yang
ia miliki sebagai sebuah pencarian yang bersifat alamiah (Abqory, 2009:14).
Universalitas filsafat yang saat ini terjadi juga harus diakui sebagai sebuah alternatif
pencarian kebenaran dan keilmuan yang saat ini dianggap tiada lagi batas yang
akan dapat memenjarakan seseorang dalam mencari alternatif pembaruan suatu ilmu
(Abqary, 2009:11). Secara universal, dikatakan pula bahwa seluruh manusia yang
percaya akan Tuhan dengan seluruh dirinya (bukan hanya dengan keilmuannya) akan
menganggap bahwa kita semua akan mencintai manusia dan menghargai pendapat
manusia tanpa memandang ras, keyakinan serta kelas, bangsa maupun agama (Gandhi,
1988). Sehingga seseorang tidak selayaknya lagi memandang filsafat seseorang
yang berbeda bangsa, agama maupun ras sebagai penghalang dalam menerapkan
filsafat tersebut sebagai sebuah filsafat personal.
Ini berarti bahwa keuniversalan sebuah filsafat
saat ini, terutama di kalangan net generation, seringkali dipengaruhi dari efek
perjalanan online seseorang. Sebagai contoh radikal, pencarian mengenai
filsafat hidup seorang teroris bisa jadi terjadi karena yang bersangkutan
terlalu sering melakukan perjalanan online (browsing) dan menjadi partisipan
aktif dalam berbagai situs yang bersifat ekstrim terhadap kehidupan beragama
ataupun ketidaksetujuan terhadap falsafah negara yang ia tempati (Jones, 2008).
Dengan melihat fenomena yang saat ini terjadi dalam
keuniversalan filsafat saat ini yang menjadi pengejawantahan dari keterbukaan
filsafat personal maka tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi di
bidang sistem informasi saat ini telah mengubah paradigma pemerolehan filsafat
hidup seseorang. Dan dengan adanya globalisasi Web 2.0 yang semakin merasuk ke
net generation, maka filsafat secara universal telah menjadi sebuah pergumulan
dan kontemplasi instan dari sebuah komunitas yang menerapkan model
crowdsourcing didalamnya.
III. Pembahasan
Filsafat hidup seseorang yang pada masa lalu
dianggap sangat personal dari sisi eksistensialisme, dan bahkan seringkali
dianggap sebagai sesuatu yang mungkin tidak perlu diketahui oleh orang lain
(Flynn, 2003), saat ini telah berubah posisi. Tren Web 2.0 yang menjadikan para
partisipan aktif didalamnya menjadi seorang freak
mind blogging (Jones, 2008) malah mengubah paradigma bahwa filsafat hidup
seseorang seharusnya disebarluaskan serta jika bisa harus ditanggapi atau
bahkan dianut oleh sekumpulan partisipan aktif lainnya.
Keberadaan situs jejaring sosial yang semakin
menguat dari waktu ke waktu dan merasuk ke dalam kehidupan para manusia di
lingkup net generation, tanpa disadari telah membuat sebuah aliran filsafat
yang diperbarui di dalam kehidupan manusia. Kemungkinan juga bahwa sesungguhnya
aliran filsafat tersebut hanyalah pengejawantahan model baru dari aliran yang
sudah ada. Sebagai sumber pencarian keilmuan, filsafat yang muncul di dalam
lingkup tren Web 2.0 dan terbentuk akibat adanya model crowdsourcing bisa
digolongkan ke dalam sebuah metode pencarian keilmuan yang menggabungkan antara
rasionalisme dan empirisme.
Hal tersebut didasari oleh adanya aliran
rasionalisme yang mengandalkan ide yang
abstrak dan digabungkan dengan aliran empirisme yang memprioritaskan pengalaman
sebagai sumber pengetahuan (Hooner & Hunt, 1978:100-105). Gabungan dari
kedua aliran tersebut implementasinya tersurat pada model crowdsourcing yang
terjadi saat ini, yakni pada saat rasionalisme seseorang yang secara abstrak
diungkapkan ke dalam sebuah situs (baik berupa situs blog, jurnal pribadi, semi
komersial ataupun jejaring sosial), dianggap sebagai sebuah bukti empiris oleh
para partisipan aktif didalamnya.
Sebagai contoh, jika pada sebuah situs jejaring
sosial yang berupa forum, terdapat seseorang yang berasal dari Indonesia
berusaha mengungkapkan filsafat pribadinya yang dipengaruhi oleh filsafat
negara yakni mengenai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, selanjutnya ditanggapi
secara antusias oleh partisipan lain yang berasal dari negara Kuba yang dalam
perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi oleh ajaran komunis. Maka yang terjadi
bahwa partisipan asal Kuba akan
mengasumsikan kata Adil sebagai
sebuah azas sama rata sama rasa dan secara positif menanggapi mengenai butir
filsafat tersebut.Tetapi di satu sisi, seorang partisipan aktif yang berasal
dari Amerika Serikat dan memahami filsafat Pancasila serta membenci negara Kuba
akan secara negatif menentang tanggapan tersebut.
Dari perdebatan kecil tersebut, pada akhirnya
muncul sebuah filsafat baru yang menetapkan bahwa kata Adil lebih mengarah ke justice
bukan equal. Tentu saja hal
tersebut terbentuk dari model crowdsourcing yang bisa dikatakan sebagai sebuah
kontribusi dari berbagai partisipan aktif yang ada dalam situs tersebut yang
sekaligus juga secara tidak sadar memberikan pengaruh terhadap partisipan lain
yang secara pasif mengikuti diskusi tersebut. Hasil dari diskusi yang secara
riil para pesertanya tidak pernah bertatap muka secara langsung, tidak mengenal
secara personal dan bahkan tidak mengetahui nama asli dari para partisipan
tersebut, malah dapat menjadikan seorang partisipan (aktif ataupun pasif)
memiliki filsafat hidup personal yang baru di dalam kehidupannya.
Dari contoh sekilas tersebut dapat dikatakan bahwa
filsafat yang muncul dari implementasi model crowdsourcing yang saat ini
berkembang berdasarkan tren Web 2.0, menjadikan filsafat personal yang
sebelumnya hanya dimiliki oleh seseorang dan dipengaruhi oleh filsafat nasional
dari negara yang ia tempati dapat secara cepat dan tepat menyebar ke berbagai
belahan dunia lain dan menjadi sebuah filsafat yang bersifat universal.
Contoh lain adalah tulisan bersifat pribadi yang
mengungkapkan filsafat hidup seseorang di dalam sebuah situs pribadi atau blog,
bisa jadi secara tidak sadar akan mempengaruhi orang lain yang menganggap bahwa
sang penulis lebih superior dibandingkan dirinya sendiri. Situs para motivator
yang mengungkapkan filsafat hidup yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikir
oleh para partisipan secara mendadak menjadi sebuah acuan hidup yang seringkali
telah terbersit sebelumnya di bidang religi. Contoh nyata dari kasus ini
seperti tulisan yang dibuat para motivator seperti Mario Teguh, Andre Wongso
atau Kafi Kurnia yang seringkali menjadi sebuah filsafat personal bagi para
simpatisannya. Contoh lainnya adalah tulisan seorang dosen yang mengungkapkan
filsafat hidupnya di blog, dan secara tidak sadar mempengaruhi filsafat hidup
para mahasiswa aktif yang mengikuti kelas dosen tersebut.
Sebagai sebuah filsafat universal yang terbentuk
dari hasil model crowdsourcing, maka tidaklah mungkin hasil tersebut diklaim
menjadi sebuah filsafat yang diciptakan oleh seseorang saja. Tidak ada lagi
teori filsafat baru yang diasumsikan dengan seseorang seperti layaknya filsafat
di masa lampau, sebagai contoh filsafat dari Plato, filsafat dari Descartes
atau filsafat dari Locke. Tetapi saat ini yang mungkin muncul dari hasil
filsafat crowdsourcing tersebut adalah filsafat dari blog si X, filsafat dari
forum Kaskus atau filsafat yang muncul dari group Facebook.
Tetapi di sisi lain, kebebasan mengungkapkan
filsafat dari pendapat pribadi juga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan sosial
bermasyarakat di sebuah negara. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya di bab
kajian pustaka, bahwa filsafat hidup personal bisa dengan cepat berubah dan
berevolusi menjadi radikal pada saat seseorang secara sengaja atau tidak
menjadi partisipan di sebuah situs yang “sesat” dalam berfilsafat.
Kelemahan lain yang timbul akibat implementasi
filsafat crowdsourcing ini adalah semakin menguatnya ciri net generation yang
sesungguhnya dianggap lebih cerdas dibandingkan generasi sebelumnya, tetapi
selalu mengharapkan hasil yang serba instan dan cepat (Beyers, 2009). Dengan
adanya filsafat crowdsourcing, maka situs mesin pencari seperti Google, Yahoo
ataupun Bing menjadi “dewa” baru dalam pencarian filsafat hidup. Meski secara
empiris, para partisipan sesungguhnya tidak mengalami secara langsung
pengalaman hidup yang seharusnya menjadi sumber dari pencarian keilmuan, tetapi
dengan adanya berbagai situs video streaming seperti YouTube, menjadikan para
partisipannya seakan-akan telah mengalami pengalaman tersebut secara virtual.
Dari sebuah filsafat personal yang berbasis
pengalaman hidup secara empiris dari seseorang yang kemudian menguat menjadi
sebuah filsafat bersifat nasional akibat adanya kesamaan lingkungan tempat
hidup, maka saat ini filsafat yang secara universal dianut banyak orang dengan
menisbikan batas ruang dan waktu, secara cepat tercipta berkat adanya kemajuan
teknologi di bidang sistem informasi. Mengacu kepada kelebihan yang bisa
menjadikan seseorang dapat berfilsafat secara instan di dunia virtual, maka
filsafat crowdsourcing tidak lagi menjadi sebuah tren di masa kini, tetapi
secara nyata dapat membantu para net generation mencari pemaknaan hidup tanpa
harus melampaui proses kontemplasi yang panjang dan berliku.
Namun dengan melihat kelemahan yang ada di dalam
proses berfilsafat seara crowdsourcing, maka seperti halnya sebuah pisau
bermata dua, para partisipan yang masih tergolong sebagai net generation memang
diharapkan lebih waspada terhadap pengungkapan filsafat oleh seseorang. Selain
itu juga wajib diwaspadai asal dari sumber filsafat tersebut, sebelum para
partisipan atau simpatisannya menjadikan filsafat tersebut sebagai ideologi
yang dianut agar tidak terjerumus ke jalan pemikiran yang dianggap salah.
IV. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dihasilkan tersebut, dapat ditarik
beberapa kesimpulan antara lain:
1.
Perkembangan teknologi di bidang sistem
informasi telah menerbitkan sebuah tren Web 2.0 yang tidak hanya bisa ditinjau
dari perkembangan secara teknis, tetapi lebih dilihat dari fenomena
crowdsourcing yang muncul dari hasil perilaku freak mind blogging yang merasuki
sebagian besar golongan net generation.
2.
Model crowdsourcing yang muncul dari tren Web
2.0 memunculkan keberadaan filsafat crowdsourcing yang secara instan dihasilkan
dari pemikiran berbagai orang lintas budaya dan lintas negara yang terlibat
sebagai partisipan di dalam komunitas berbasis online sehingga menembus batas
ruang dan waktu untuk mengubah sebuah filsafat personal bermetamorfosa menjadi
filsafat yang bersifat universal.
3.
Keberadaan filsafat crowdsourcing layaknya
sebuah pisau bermata dua yang memiliki keunggulan sekaligus kelemahan
didalamnya. Keunggulan dari filsafat ini yang menjadikan net generation
menjalani kontemplasi instan serta memunculkan filsafat personal ke arah yang
lebih baik dibarengi dengan kelemahan dari filsafat crowdsourcing yang juga
dapat secara radikal merevolusi jalan pikiran seseorang menjadi ekstrem dan
tidak lagi sesuai dengan ajaran agama ataupun menentang budaya lokal.
4.
Manusia sebagai mahluk sosial yang tidak hanya
menjadi mahluk individu, secara naluriah merasakan dirinya sebagai bagian dari
sebuah komunitas (dengan menganut filsafat hidup dari filsafat crowdsourcing
atau mengkombinasikannya dengan pengalaman hidup), sekaligus secara alamiah
ingin diakui keberadaannya dengan mengungkapkan filsafah personal yang ia
miliki ke berbagai situs dan menjadi partisipan aktif dalam pembentukan
filsafat crowdsourcing.
V. Daftar Pustaka
Abqary, Qusthan. 2009. “Melawan
Fasisme Ilmu”. Penerbit Kelindan
Beyers, R. N. . 2009. “A Five
Dimensional Model for Educating the Net Generation”. Educational Technology
& Society, 12 (4), hal. 218–227
Blumer, Helbert. 1972. “Forms of
Crowd and Mass Behaviour” dalam “Crowd and Mass Behaviour(ed. Helen MacGill
Hughes)”. American Sociological Association
Borst, Irma. 2010. “Understanding
Crowdsourcing”, ERIM PhD Series in Research in Management, Erasmus Universiteit
Rotterdam: Rotterdam
Flynn, Thomas. 2006. “Existensialism,
a very short introduction”. Oxford University Press
Freeden, Michael. 2003. “Ideology, a
very short introduction”. Oxford University Press
Gandhi, Mahatma. 1988. “Semua Manusia
Bersaudara (terjemahan Kustiniyati Mochtar)”. Yayasan Obor Indonesia
Hooner, Stanley .M & Thomas C.
Hunt. 1978. “Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode
Keilmuan” dalam “IlmuDalam Perspektif (terjemahan Jujun S. Suriasumantri)”.
Penerbit Gramedia
Leahy, Louis. 1989. “ Manusia, Sebuah Misteri”.
Penerbit Gramedia
Jones, Bradley L. 2008. “Web 2.0
Heroes : Interviews with 20 Web 2.0 Influencers”. Wiley Publishing
Leenhouwers, P. 1988. “Manusia dalam
Lingkungannya (terjemahan oleh K.J. Veeger M.A)”. Penerbit Gramedia
Pessin, Andrew. 2009. “The 60-second
Philosopher - Expand your mind on a
minute or so a day”. One World - Oxford
Stilman, Tyler F et al. 2010.
”Personal Philosophy and Personnel Achievement: Belief in Free Will Predicts
Better Job Performance”. Social Psychological and Personality Science 2010,
1(1) hal. 43-50
Syam, Muhammad Noor. 2006.
“Filsafat Ilmu”, FIP Universitas Negeri Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar